Cinta kasih
Kata cinta, selain mengandung unsur perasaan aktif, juga menyatakan tindakan yang aktif. Pengertiannya sama dengan kasih sayang sehingga, kalau seseorang mencintai orang lain, artinya orang tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap orang lain tersebut. Cinta memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan yang erat di masyarakan dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyebah Tuhan dengan ikhlas, mengikut perintah-Nya, dan berpegang teguh pada syariat-Nya.
Dalam kehidupan manusia, cinta menampakkan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari seseorang yang mencintai dirinya, istrinya, anaknya, hartanya, dan Tuhannya. Bentuk cinta ini melekat pada diri manusia, potensi dan frekuensinya berubah menurut situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Pada saat belum berkeluarga, seseorang akan lebih kuat cintanya kepada orang tua; setelah berkeluarga cintanya akan nampak terbagi bagi istri dan anaknya.
Cinta orang tua terhadap anaknya sangat kuat meskipun perangai anak itu tidak memuaskan orang tua. Tetapi, cinta pun terwujud karena perangai utama. Cinta seseorang kepada orang ba nyak memerlukan didikan dan perjuangan, yang memandang sesama manusia sebagai kecintaan yang perlu dibela. Cinta seperti dikatakan dalam rangka perangai utama itu mengandung kejujuran, amanat, dan keadilan. Apabila cinta seseorang telah tumbuh, berarti orang itu mengandung hikmat yang menuntun dirinya kepada kebenaran, kebajikan, dan pengorbanan.
Sebagai manifestasi perasaan cinta, manusia mempunyai banyak lambang tentang cinta. Lambangnya dapat dengan bau bunga, warna, atau cium tangan. Seperti dikatakan oleh filsuf Islam, Al-Kindi: “Jika bau bunga sedap malam dicampur dengan bau mawar, akan lahir bau baru yang bisa membangkitkan perasaan cinta dan bangga.”
Cinta tidak mudah diterangkan dan diilustrasikan dengan kata-kata Ia memiliki daya luar biasa pada diri manusia serta melekat dengan kuta. Cinta dapat sekonyong-konyong muncul, dan hilang sama sekali, atau terus tumbuh seperti cintanya orang tua terhadap anaknya sejak dilahirkannya. Cinta dapat dilukiskan dengan memberi, bukan meminta, sebagai dorongan mulai untuk menyatakan eksistensi dirinya atau aktualisasi dirinya kepada orang lain.
Berbagai bentuk cinta dapat diuraikan sebagai berikut.
Cinta diri
Secara alamiah manusia mencintai dirinya sendiri. Sebaliknya amnusia membenci segala sesuatu yang menghalangi hidupnya atau yang menghambat aktualisasi dirinya. Manusia membenti segala sesuatu yang mendatangkan penderitaan, rasa sakit, dan marabahaya lainnya.
Cinta yang mulai pun dapat hilang apabila seseorang terlalu berlebihan mencintai dirinya. Kecintaan terhadap dirinya dapat dibuktikan apabila ia tertimpa malapetaka atau kesulitan: manusia akan berkeluh kesah. Sebaliknya, apabila manusia memperoleh banyak harta, ia akan berhati-hati memeliharanya, bahkan dapat melupakan fungsi sosial hartanya. Cinta terhadap dirinya tidak harus dihilangkan, tetapi perlu berimbang dengan cinta kepada orang lain untuk berbuat baik. Inilah yang dimaksud dengan cinta diri yang ideal.
Cinta kepada sesama manusia
Cinta kepada sesama manusia banyak dilukiskan dan dicontohkan oleh seseorang pembawa kebenaran (nabi) atau oleh kelompok orang. Cinta kepada sesama manusia merupakan watak manusia itu sendiri, selain watak manusia sebagai pembenci dan bersifat kikir terhadap manusia lainnya. Biasanya manusia akan mudah membenci atau kurang memperhatikan orang lain apabila ia mendapat kesenangan dirinya. Akan tetapi, kita sering mendengar tentang seseorang yang betul-betul mendahulukan keperluan orang lain (sesama manusia) daripada keperluan dirinya sendiri. Kalau boleh berkomentar tentang watak manusia dalam hal mencintai sesamanya, yang lebih baik tentu yang mampu menyeimbangkan cinta mereka kepada diri sendiri dengan cinta mereka kepada sesamanya, dan membatasi keekstreman cinta mereka.
Motivasi seseorang mencintai sesama manusia, menurut persepsi sosiologis, disebabkan karena manusia itu tidak dapat hidup sendirian (manusia sebagai makhluk sosial). Manusia perseorangan (individu) memiliki kelebihan dan kekurangan dalam segala hal sehingga manusia akan saling menutupin kekurangannya apabila bekerja sama. Menurut persepsi agama (Islam), mencintai sesama manusia itu merupakan kewajiban. Demikian pula adanya perbedaan warna kulit, ras, etnis, atau perbedaan fisik manusia, justru untuk saling memperkenalkan diri (saling mengenal). Bahkan dalam batas sesuatu kepercayaan. Sesama manusia dianggap masih saudara (saudara seiman). Dalam pepatah sering dikatakan “kalau tidak kenal maka tak sayang”, berarti makna kenal di sini untuk dilanjutkan dengan saling menyanyangi atau saling mencintai di antara manusia.
Pertemuan dan cinta
Gabriel Marcel, seorang filsuf kelahiran Paris (1889-1973), mengemukakan hakikat pertemuannya atau kehadiran dan cinta. Kodrat sosial manusia atau hubungannya dengan orang lain, yang hanya berdasarkan kecendrungan-kecendrungan biologis dan psikologi manusia, tidak menghasilkan hidup sesama yang sejati. Orang yang mengikuti kecendrungan-kecendrungan itu mewujudkan hubungan dengan orang lain atas taraf biologis dan psikologis, tetapi belum tentu mereka bertemu dengan orang lain sebagai hubungan personalistis. “Kehadiran” ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta. Disini “Aku” dan “Engkau” mencapai taraf “Kita”. Dalam taraf “kita”, “Aku” dan “Engkau” diangkat menjadi suatu kesatuan baru yang tidak mungkin dipisahkan ke dalam dua bagian.
Pertemuan antara dua orang dapat membangkitkan rasa cinta. Pertemuan yang merupakan kontak antara dua orang ialah antara “Aku” dan “Engkau”, yang saling membuka hati melalui gerak dan kata. Dalam pertemuan terjadi saling membuka hati, saling menyerahkan diri, terbuka, dan jujur. Dalam pertemuan pikiran-pikiran egoistis dilepaskan, sebaliknya dibangkitkan kesedian dalam situasi bersama. Hubungan “Aku” dengan “Engkau” adalah hubungan dinamis, berkembang, yang dimulai dengan kepercayaan sampai lebih nyata dalam cinta dan persahabatan.
Hubungan antara dua orang memuncak dalam hubungan cinta. Asal mula hubungan cinta itu adalah anugerah Tuhan. Syarat cinta ialah kerendahan hati pada orang yang memanggil, kesediaan pada orang yang dipanggil. Dalam cinta unsur individualitas masih tetap ada, hanya ditutupi dengan pengorbanan, tetapi demi cinta pula. Cinta tidak dapat diukur secara objektif. Bahkan sulit sekali untuk mengetahui apakah saya sendiri mencintai orang lain atau tidak karena cinta mencakup seluruh eksistensi manusia.
Dalam cinta timbul communion, kebersamaan yang sungguh-sungguh komunikatif, “mencintai” selalu mengandung suatu imbauan (invocation) kepada sesama. Kebersamaan dalam cinta ini, menurut kodratnya, harus berlangsung terus, tidak terbatas pada satu saja. Karena itu, dalam pengalaman cinta terkandung juga bahwa “Aku” mengikat diri dan tetap setia. Kesetiaan itu sanggup membarui dan memperkokoh cinta.
Akan tetapi, suatu saat cinta dapat putus secara mendadak karena adanya pengkhianatan terhadap partner dalam cinta. Bila yang dicintai. Tetapi pada suatu saat mungkin ia mengakui: Aku ditipu. Ini hanya membuktikan bahwa dalam cinta, tetap ada kemungkinan untuk memandang adanya pelaku ketiga. Ini merupkan kritik dan kewaspadaan terhadap cinta. Untuk lebih waspada, perlu dikaji konsep cinta dalam ajaran agama.
Rasa kasihan, cinta dan persahabatan
Tak ada seorang pun yang mau hidup tanpa sahabat. Dan yang membuat kita bermoral adalah adanya perhatian kita secara pribadi terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita. Baru setelah itu, kita memberi perhatian kepada banyak orang yang belum pernah kita temui, dan kepada manusia pada umumnya. Persahabatan dijalin dalam bentuk pengalaman, mungkin karena kesamaan tujuan, profesi, dan sebagainya. Inti Persahabatan ialah adanya kesediaan untuk saling berkorban, bukan dalam konteks materi, melainkan lebih dari itu, berupa nilai-nilai rasa kemanusiaan dan seterusnya. Persahabatan juga dapat terjalin karena berada dalam situasi yang sama dalam konteks hubungan sosia, atau pandangan yang sama, atau jalan pikiran yang sama dalam menghadapi suatu kehidupan. Persahabatan pun dapat juga merenggang karena adanya perbedaan dalam berbagai segi (segi yang merintis persahabatan). Bahkan sampai pada tarap konflik kalau perbedaan segi-segi tersebut sangat tajam.
Cinta menurut ajaran agama
Adanya yang berpendapat bahwa etika cinta dapat dipahami dengan mudah tanpa dikaitkan dengan agama. Tetapi dalam kenyataan hidup, manusia masih mendambakan tegaknya cinta dalam kehidupan ini. Di satu pihak, cinta didengung-dengungkan lewat lagu dan organisasi perdamaian dunia tetapi di lain pihak, dalam praktek kehidupan, cinta sebagai dasar hidup jauh dari kenyataan
Cuplikan peristiwa ini memberikan indikasi kepada kita bahwa cinta itu harus proporsional dan adil, janganlupa diri karena cinta. Untuk itu agama memberikan tuntunan tentang cinta. Berbagai bentuk cinta ini terdapat di dalam Al-quran.
Cinta diri
Alquran telah mengungkapkan cinta alamiah manusia terhadap dirinya sendiri, kecendrungan untuk menuntut segala sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi dirinya, melalui ucapan Nabi SAW. Bahwa seandainya dia mengetahui hal-hal yang gaib, tentu dia akan memperbanyak hal-hal yang baik bagi dirinya dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan: “…..dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan memperbanyak kebaikan bagi diriku sendiri dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan…..” (Q:7:188). Demikian pula: “Manusia tidak jemu-jemu memohon kebaikan, tetapi jika mereka ditimpa malapetaka, dia menjadi putus asa lagi putus harapan” (Q:41:49). Manusia cinta pada dirinya agar terus menerus dikaruniai kebaikan, tetapi apabila ditimpa bencana, ia menjadi putus harapan.
Cinta kepada sesama manusia
Allah memerintakan kepada manusia untuk saling mencintai diantara sesamanya. “Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudar, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Q:49:10). Dalam Alquran teradapat pujian bagi kaum Anshar karena rasa cintanya kepada kaum Muhajirin. Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); ciri cinta diantaranya sesama manusia menurut ajaran Islam ditandai dengan sikap yang lebih mengutamakan (mencintai) orang lain daripada dirinya sendiri.
Cinta seksual
Cinta erat kaitannya dengan dorongan seksual. Hak ini dilukiskan dalam Alquran sebagai berikut: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir” (Q:30:21). Cinta seksual merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang dapat melestarikan kasih sayang, keserasian, dan kerjasama antara suami dan istri. Seks merupakan faktor yang primer bagi kelangsungan hidup keluarga.
Cinta kebapakan
Cinta ibu kepada anaknya, atau dorongan keibuan, merupakan dorongan fisiologis. Artinya, terjadi perubahan-perubahan fisiologis dan fisis yang terjadi pada diri si ibu sewaktu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Dorongan kebapakan tidak seperti dorongan keibuan , tetapi dorongan psikis. Hal ini tampak dalam cinta bapak kepada anaknya karena ia merupakan sumber kesenangan dalam kegembiraan baginya, sumber kekuatan dan kebanggan, dan merupakan faktor penting bagi kelangsungan peran bapak dalam kehidupan, dan tetap terkenangnya dia setelah meninggal dunia.
Cinta kepada Allah
Puncak cinta manusia, yang paling bening, jernih dan spiritual ialah cintanya kepada Allah dan kerinduan kepada-Nya. Tidak hanya salat, pujian, dan doanya, tetapi semua tindakan dan tingkah lakunya ditujukan kepada Allah. Mengharapkan penerimaan dan ridla-Nya. Dalam firman Tuhan: “Dikatakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun lagi maha penyanyang” (Q:3:31). Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan merupakan pendorong dan mengarahkannya kepada penundukan semua bentuk kecintaan lainnya. Cinta kepada Allah akan membuat seseorang menjadi mencintai sesama manusia, hewan, semua makhluk Allah, dan seluruh alam semesta. Hal ini terjadi karena semua yang wujud dipandang sebagai manifestasi Tuhannya, sebagai sumber kerinduan spiritualnya dan harapan kalbunya.
Cinta kepad Rasul (Muhammad)
Cinta kepada Rasul Muhammad merupakan peringkat kedua setelah cinta kepada Allah. Hal ini disebabkan karena Rasul Muhammad bagi kaum Muslimin merupakan contoh ideal yang sempurna bagi manusia baik dalam tingkah laku, moral, maupun berbagai sifat luhur lainnya. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q:68:4). Cinta kepad a Rasul Muhammad ialah karena beliau merupakan suri telada, mengajarkan Alquran dan kebijaksanaan. Muhammad telah menanggung derita dan berjuang dengan penuh tantangan sampai tegaknya agama Islam.
Cinta kepada ibu-bapak (orang tua)
Cinta kepada ibu-bapak dalam ajaran agama Islam sangat mendasar, menentukan ridla-tidaknya Tuhan kepada manusia. Sabda Nabi Muhammad SAW. “Keridlaan Allah bergantung pada kemurkaan kedua orang tua pula” (Hadits Riwayat At-Turmudzy). Khususnya mengenai cinta kepada orang tua ini, Tuhan memperingatkan dengan keras melalui ajaran akhlak mulia dan langsung dengan tata kramanya. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Q:17:23-24)